Pacoa Jara, Tradisi Leluhur yang Tidak Luntur
Matahari menyengat dengan teriknya saat kuda-kuda yang dikendalikan oleh joki-joki mungil saling pacu melintasi arena pacuan yang kering dan berdebu seluas lapangan sepakbola. Tanpa pelana dan dan hanya menggunakan penutup kepala, serta helm yang tidak standart, para joki yang umurnya dibawah rata-rata 10 tahun tersebut berlomba menjadi yang terdepan di arena pacuan kuda Lembah Kara, Desa Lepadi, Kecamatan Pajo, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Sabtu (8/8/2012).
Pacoa Jara merupakan istilah Dompu untuk pacuan kuda. Biasanya, pacoa jara digelar setiap tahun untuk menyambut hari besar, seperti hari kemerdekaan Republik Indonesia. Pesertanya selain berasal dari Dompu juga datang dari berbagai daerah seperti Bima, Sumbawa, Taliwang, dan Lombok.
Jumlah peserta tahun ini mencapai 511 kuda yang terbagi dalam 12 kelas, mulai dari kelas terendah 'TK' (tinggi kuda rata-rata 1,12 centimeter di bawah dua tahun) hingga kelas tertinggi 'C' (kuda dewasa dengan tinggi rata-rata 1,30 centimeter). Lomba balap kuda ini berlangsung selama seminggu menggunakan sistem gugur tiap kelasnya.
Kuda pacuan adalah kuda istimewa. Perawatannya pun tak sembarangan. Kuda dimandikan dengan air panas yang dicampur rwmpah-rempah. Selain itu porsi makanan juga diperhatikan agar kuda dapat berlari kencang saat di lintasan. Karena balapan berlangsung seminggu, para pemilik kuda membangun tenda-tenda di sekitar arena pacuan. Kuda-kuda tersebut ditunggui pawang.
Pacoa Jara di Dompu telah berlangsung secara turun temurun. Meski pacuan kuda kini semakin modern baik dari segi perlombaan maupun keselamatan joki, namun Pacoa Jara tetap bertahan dengan segala budayanya. Tradisi leluhur yang tidak luntur.
Sumber : kompas.com
Komentar
Posting Komentar